Perempuan Sunda mesti waspada. Sebab, banyak sindikat perdagangan perempuan mengincar mereka. Lebih kurang itulah yang ditulis Anna Syarif dalam Bintang Hindia pada tahun 1920-an. Sebagai pengasuh rubrik perempuan di majalah tersebut, dia sadar betul kewajibannya untuk menyebarluaskan informasi itu mengingat bahaya yang sedang mengancam kaumnya.
Apalagi, seringkali praktek tersebut dilakukan oleh seorang jang parlente dan pelagak, jang bisa memboedjoek perempoean-perempoean moeda oentoek djadi istrinja, jang kemoedian hari akan dijoewalnja ke tempat-tempat lain mendjadi njai dan sebagainja. Itulah kenapa para perempuan harus awas!
Kalau para mojang menjadi sasaran, konon itu karena mereka dulu memang terkenal mudah tertipu. Dengan rayuan sedikit harta, perempuan Sunda bisa tergila-gila. Hal seperti ini banyak dibahas penulis pada awal abad ke-20.
Dalam Indische Vrouwenjaarboek yang diterbitkan tahun 1936, misalnya, Datoe Toemenggoeng mengatakan bahwa sebagian besar perempuan Sunda menjadi pelacur karena mudah tergoda harta. Laporan yang lebih tua pada tahun 1914, yang dikeluarkan pemerintah Belanda berkaitan dengan tingkat kesejahteraan perempuan Hindia, pun mengatakan hal serupa, bahwa perempuan Sunda gampang dibujuk karena gila kaya!
Dengan nada lebih halus, sebuah media massa menyebut bahwa perempuan Sunda gemar bersolek. Untuk memenuhi kebutuhan, mereka rela melakukan apa saja!
Berita-berita tersebut bisa sedikit memperjelas gambaran tentang perempuan Sunda pada masa itu. Tentu saja hal itu tidak berlaku untuk semua perempuan. Meskipun demikian, menjadikan perempuan sebagai satu-satunya pihak yang bersalah juga sepenuhnya tidak dapat diterima.
Sebab, bagaimanapun juga, praktek penjualan perempuan dimungkinkan oleh keberadaan pembeli dan perantara, yang kebanyakan adalah lelaki. Bahkan, bisa jadi keberadaan kedua pihak inilah yang menyebabkan praktek semacam itu menjadi subur. Sebab, permintaan dan upaya pemenuhan permintaan itulah yang membuat praktek semacam itu terus bertahan.
Kebanyakan pembeli saat itu adalah orang Belanda. Para tuan kebun yang tinggal jauh di pedalaman seringkali membutuhkan hiburan. Apalagi, keberadaan mereka seringkali tidak disertai istri mereka masing-masing. Sebab, kebanyakan adalah para lajang atau masih diterapkannya peraturan meminimalisasi keberadaan pasangan suami-istri.
Untuk soal ini, kolonialisme tidak bisa diabaikan. Sebab, bagaimanapun keberadaan para tuan Eropa ini disebabkan oleh kolonialisme. Jadi, tidak salah kalau dikatakan bahwa kolonialisme merupakan salah satu pendorong praktek penjualan perempuan. Namun, tentu saja tidak semua pelanggan adalah orang Eropa. Tidak sedikit juga orang Pribumi yang menjadi pembeli!
Hanya saja, orang pribumi lebih banyak menjadi perantara. Mereka mencari perempuan ke desa-desa untuk dijual kepada tuan Belanda atau rumah pelacuran, baik yang dikelola orang Eropa maupun orang pribumi. Barangkali keberadaan bisnis yang menguntungkan inilah yang membuat mereka mau bekerja keras.
Apalagi, pekerjaan ini tidak cukup sulit. Cukup bertampang perlente dengan wajah meyakinkan, dan sedikit bualan, banyak perempuan terpukau! Hal inilah yang membuat banyak mojang terjerumus dalam lingkaran perdagangan perempuan pada awal abad ke-20.
Berkaitan dengan perantara, ada kisah menarik yang dimuat dalam Hindia Belanda. Ini terjadi pada Entje Min, lelaki asal Palembang yang berprofesi sebagai perantara. Suatu ketika, dia mencari calon korban di daerah Tasikmalaya. Sebagai bagian dari Priangan, Tasikmalaya terkenal dari dulu dengan perempuannya yang cantik-cantik. Jadi, tidak salah kalau Entje Min pergi kesana.
Di Tasikmalaya, dia berkenalan dengan perempuan bernama Neng alias Roemsajasi. Di kampungnya, perempuan ini terkenal sebagai janda kembang. Dengan yang Rp 200, perempuan itu dibelikan bermacam-macam barang untuk menyenangkannya. Entje Min pun menyatakan maksudnya untuk menikahi Neng. Melihat lelaki yang meyakinkan itu, sang ibu tidak keberatan anaknya dilamar. Bahkan, dia tidak keberatan pula kalau anaknya akan dinikahi di Bandung!
Mereka pergi ke Bandung. "Pengantin baru" itu kemudian menginap di sebuah hotel. Namun, setelah beberapa hari tinggal di Bandung, ternyata tidak ada surat perkawinan yang dibikin laki-laki itu. Malah Entje Min dengan agak sedikit terburu-buru dan sedikit memaksa meminta sang istri untuk pergi ke Batavia dengan kereta api. Sesampainya di sana, mereka berdua pergi ke Tanjung Priok untuk segera menyeberang ke Palembang.
Saat itulah Neng mulai sadar kalau dirinya telah ditipu dan mulai menangis. Rupanya perempuan tersebut menarik perhatian banyak orang. Orang datang berkerumun dan Neng bercerita bahwa dirinya adalah korban penipuan. Polisi turun tangan. Si laki-laki ditangkap. Ternyata itu bukan kali pertama dia melakukannya. Entje Min sudah lama menjadi incaran polisi dalam kasus yang serupa. Adapun si perempuan dikirim balik ke kampungnya di Sukamanah, Tasikmalaya.
Entje Min adalah contoh kisah penjualan yang gagal. Kisah semacam ini tentu tidak banyak. Sebab, kisah penjualan yang sukses tentu lebih banyak. Hanya, kita tidak akan pernah tahu karena kisah-kisah tersebut tidak pernah diberitakan!
Itulah kenapa praktek penjualan perempuan menebar banyak ancaman. Keberadaannya juga telah memicu banyak perdebatan, terutama tentang bagaimana agar praktek tersebut bisa dihilangkan. Pendapat mengenai hal itu bisa dijumpai dalam media massa atau buku-buku yang terbit pada dasawarsa kedua abad ke-20.
Seorang penulis anonim dalam Massa Baroe, misalnya, mengatakan bahwa penistaan terhadap perempuan terjadi akibat kapitalisme dan kolonialisme. Mereka menjadikan keberadaan orang-orang Eropa, terutama Belanda, sebagai satu-satunya penyebab adanya perdagangan perempuan. Mereka pun percaya bahwa seandainya kolonialisme berakhir dan orang-orang Eropa telah angkat kaki, praktek semacam itu akan hilang dengan sendirinya.
Anggapan itu jelas salah! Sebab, sampai detik ini praktek penjualan perempuan masih marak di berbagai tempat. Paling tidak pemberitaan penggagalan penjualan perempuan belakangan ini hanyalah salah satu contoh peristiwa yang terungkap, bahwa praktek penjualan perempuan masih ada sampai sekarang.
Hal itu bisa dijadikan dalil bahwa penjualan perempuan bisa jadi bukan akibat kolonialisme. Hal itu bisa jadi juga tidak sepenuhnya salah. Bukan tidak mungkin kolonialisme dalam bentuk lain masih terus menjerat kita. Waspada, waspadalah!
Oleh : Gani A. Jaelani, Staf Pengajar Jurusan Ilmu Sejarah Universitas Padjadjaran
Sumber : Harian "Kompas" edisi 10 Januari 2009
No comments:
Post a Comment